Folklore dan Folktale: Sebuah Umpan Diskusi


    Beberapa dari kita tentu pernah mendengar cerita Sangkuriang dan Malin Kundang. Beberapa tak jarang yang berkesimpulan begini: Mengapa seorang anak dan ibu menjadi susmi isteri? Atau: Mengapa pula seorang ibu tega mengutuk anaknya? Menariknya, cerita-cerita tersebut adalah cerita yang menemani kita tumbuh, sering kita dengar saat kecil, bahkan sekarang saat kita mulai dewasa, sering kita kaitkan dengan cerita anak. Haruskah demikian?

    Pada Senin, 29 Agustus 2022 lalu, rembuku membuka ruang obrolan tentang cerita rakyat lewat Instagram live. Henny Khair dan Chrysogonus Siddha mengisi Ngobrol Bareng rembuku dengan tajuk Apa sih Cerita Rakyat Itu?. Beberapa pertanyaan berikut ini adalah pemantiknya: benarkah folklor sama dengan folktale (cerita rakyat), apa sih cerita rakyat itu sebenarnya, haruskah itu dibagikan ke anak-anak (meskipun terkadang ceritanya tidak cocok dengan nilai keluarga), adakah cerita rakyat yang murni, hingga pertanyaan mana yang lebih penting menjaga keaslian cerita rakyat atau mengadaptasi cerita rakyat yang ada. Dialog berikut mungkin bisa beberapa catatan dari Instagram live lalu.


Bagaimana konsep folklore, folktale, dan fairytale? Apakah saling berhubungan, satu bagian dari yang lain, atau justru tak berhubungan sama sekali?

    Kesalahpahaman folklor SAMA DENGAN folktale juga terjadi di beberapa negara, tidak hanya di Indonesia. Folklore adalah bagian yang lebih besar dari folktale atau cerita rakyat. 

    Folklor adalah bagian dari budaya yang dimiliki oleh suatu kolektif. Folklor adalah building block suatu kebudayaan. Folklor bersifat menyebar dan diwariskan turun-temurun. Karena kolektif bersifat fluid (cair), begitu pula folklor. Itu salah satu hal yang menyebabkan adanya variasi folklor. Penyebab variasi yang lain tentu saja karena sifatnya yang menyebar dan cara pewarisannya yang turun-temurun. Tak jarang kita melihat folklor yang berbeda antara generasi yang satu dengan lainnya, karena persepsi dan nilai dalam memandang sesuatu yang berbeda. 

    Selain itu, folklor dapat berbentuk cerita lisan, gerak isyarat, atau mnemonic devices (alat pengingat), juga penggunaan bahasa slang lokal—yang semuanya diwariskan dari generasi. Contoh folklor masa kini adalah bahasa slang. Misalnya cara kita mengejek teman.


Nah, bagaimana dengan folktale atau cerita rakyat?

    Jika bicara tentang cerita rakyat, James Danadjaya (Folklor Indonesia: ilmu gosip, dogeng, dan lain-lain, 1984) mengutip William Bascom, folktale dibagi tiga golongan besar: mite (berhubungan dengan dewa-dewi/higher being), legenda (sejarah suatu daerah), dan dongeng (cerita fantasi). 


Beberapa orangtua merasa khawatir memberi cerita rakyat kepada anak-anak mereka karena di beberapa cerita ada konten dewasa (hubungan laki-laki dan perempuan, misalnya pernikahan) dan kekerasan. 

    Konten dewasa dan kekerasan sering kali menjadi bagian dalam cerita rakyat. Namun, hal-hal itu tidak hanya ada di cerita rakyat. Di kehidupan sebenarnya, bukan berarti anak-anak tidak melihat keduanya. Dalam cerita rakyat, konsep kekerasan dan pernikahan, misalnya pasti tidak hadir begitu saja. Sebenarnya hal itu merupakan bagian dari kebijaksanaan/instruksi/nilai yang diwariskan ke dari generasi lalu. Cerita Timun Mas atau Bawang Merah Bawang Putih adalah bentuk pewarisan memori kolektif melalui kode/simbol/metafora. Simbol-simbol tersebut merupakan cara pandang dan nilai generasi sebelumnya. 

    Yang kurang tepat adalah memandang nilai generasi lalu dengan nilai kita yang mungkin berbeda. Dengan mendengar cerita-cerita dari generasi sebelumnya, kita bisa memahami nilai mereka. Pewarisan cerita rakyat adalah pengajaran nilai melalui suatu simbol, melalui metaphor. Justru karena penggunaan metafora ini, penafsiran menjadi beragam tergantung nilai dan persepsi masing-masing.

    Juga, mengapa kita mengecilkan daya nalar anak? Mereka mengerti logika baik buruk, hanya mungkin belum punya perbendaharaan bahasa untuk menyebutkannya. Jika menonton yang buruk apakah lantas anak-anak menjadi tak bermoral?


Mungkin juga beberapa orang tua ragu memberi cerita rakyat ke anak-anak karena adanya sisi yang kurang realistis dari dongeng.

    Mungkin kita perlu bertanya lagi apa salahnya fantasi? Fantasi membuat anak-anak dapat mengembangkan cara berpikir dan daya kreatifitasnya. Anak-anak berpikir dengan fantasi mereka. Mereka dapat memiliki banyak pandangan dan pengalaman dengan berfantasi. Rasanya kita harus memandang anak-anak dengan lebih adil.


Sebenarnya bagaimana hubungan cerita rakyat dan sastra anak?

    Cerita rakyat biasanya dijadikan dongeng sebelum tidur, yang variasi dan bentuknya disesuaikan dengan perbendaharaan cerita si penutur. Jadi, bisa saja yang diceritakan bukanlah cerita anak, melainkan cerita perang misalnya. Tapi, apakah anak-anak menikmatinya? Bisa jadi iya.

    Nah, jika kembali ke sastra anak. Sastra anak adalah semua cerita yang dinikmati anak.

    Mungkin tidak semua cerita rakyat dibuat untuk anak-anak, namun karena adanya momen “dongeng pengantar tidur” inilah yang membuat cerita rakyat mengalami aproriasi (pemantasan) untuk anak. Dari situ muncul salah kaprah bahwa semua dongeng dan semua cerita rakyat dibuat untuk anak-anak.


Kenapa dalam cerita rakyat banyak tema tentang anak vs orang tua?

    Nyatanya tidak hanya cerita rakyat yang demikian. Mungkin hampir semua cerita anak demikian, karena desire anak yang itu—yang melawan orang tua—yang sering jadi tema. Kalau dalam psikologi, seperti yang Freud bilang bahwa anak harus “membunuh sosok ayah (name of the father)-nya” jika ingin beranjak dewasa. “Membunuh sosok ayah” bukan berarti ayah biologisnya, tapi bisa jadi berarti menaklukan peraturan atau opresi.


Bicara tentang varian cerita rakyat, banyak sekali versi yang ada dalam cerita anak. Apakah itu masalah?

    Tentu saja tidak. Justru itu adalah ciri khas cerita rakyat. Pasti memiliki banyak variasi karena diwariskan turun-temurun dan menyebar.


Lalu, perlukah cerita rakyat dikonservasi?

    Budaya dapat dilihat sebagai suatu proses, bukan sesuatu yang stagnan. Jadi rasanya kata TERDOKUMENTASI lebih tepat. Dokumentasikan cerita rakyat versi yang ada. Jadi, kita bisa tahu perubahan cerita rakyat yang terjadi. Tahun sekian, ceritanya begini. Tahun berapa lagi ceritanya begitu.


Ketika suatu cerita rakyat dibukukan apakah kemudian itu akan menjadi cerita rakyat baru?

    Ketika cerita rakyat dibukukan, yang terjadi bukan pembuatan cerita rakyat, melainkan adaptasi cerita rakyat. Salah satu ciri folklor adalah penciptanya yang anonim. Penulis buku itu adalah penutur ulang adaptasi cerita rakyat. Cerita rakyat baru tak bisa dibuat hanya dengan dibukukan, maka penulis sebaiknya menuliskan bahwa ia mengadaptasi atau ia terinspirasi dari cerita rakyat tertentu. Cerita rakyat adalah hasil kolektif, bukan hasil individu semata. (EFR)

    Selengkapnya instagram live Ngobrol Bareng Rembuku: Apa sih Cerita Rakyat itu? bisa disimak di sini.

Tentang Narasumber

Chrysogonus Siddha Malilang terjerumus dalam penelitian sastra anak karena kebingungannya saat memilih topik penelitian. Bukannya merasa terjebak, ia malah memutuskan untuk berkubang di sana dan mempelajari banyak hal. Saat ini, lubang itu telah membawanya menjadi peneliti dan pengajar sastra anak di Malmö University, Swedia.

Heny Khair adalah seorang ibu dengan 2 putra yang kebetulan suka membaca. Karena itu, dia meneliti sastra anak sebagai tugas akademiknya. Setelah membandingkan buku seri Keluarga Cemara dan buku seri Little House, saat ini dia sedang meneliti bagaimana orangtua memilih buku untuk anak.




Komentar