oleh Hanie Maria
Penulis: Reda Gaudiamo
Ilustrator: Cecilia Hidayat
Penerbit: Post Press
Cetakan keenam, Februari 2022
ISBN 978-6-02-603042-9
Segar dan jujur, itu kesan paling menonjol yang kudapat dari membaca buku berwarna merah berjudul Na Willa karangan Reda Gaudiamo (Post Press, 2022). Buku itu tipis saja, sekira seratusan halaman. Namun, membacanya membuat hati terasa penuh.
Judul Na Willa diambil dari nama anak yang menjadi tokoh utama di buku tersebut. Di buku, Na Willa bercerita tentang kesehariannya di Indonesia pada masa dulu, menggunakan sudut pandang anak-anak dan kalimat tutur yang lugas khas anak-anak.
Segi kebahasaan yang terlihat dari pilihan diksi dan susunan kalimat, bagi saya adalah sebuah bukti bahwa Reda Gaudiamo berhasil menghilangkan sisinya sebagai individu dewasa (dan juga orang tua) dan hadir sepenuhnya sebagai sosok Na Willa.
Bahasa Anak
Cerita-cerita dalam buku Na Willa dibagi ke dalam bab-bab pendek. Di sana, Reda banyak menggunakan kalimat pendek dan kalimat langsung. Beberapa kalimat ada yang hanya berisi tiga kata, bahkan satu kata saja. Barangkali ini tidak sesuai dengan kaidah SPOK yang kita kenal sejak dari masa sekolah. Namun, karena kalimat-kalimat disusun seperti itu, buku ini menurutku jadi sangat cocok digunakan sebagai bahan membaca nyaring. Kalimatnya pun mengalir sehingga terasa seperti kalimat-kalimat itu meluncur sendiri dari mulut Na Willa.
Berbagai emosi yang dirasakan oleh Willa dijelaskan dengan gamblang sesuai dengan yang diserap oleh indra-indra tubuhnya. Saat Mak dan Bu Guru marah misalnya, Willa menggambarkan bahwa ia melihat mata Mak jadi besar, mulut Bu Guru membulat lalu menganga lebar. Juga saat bapak Farida marah, digambarkan alis bapak yang selalu bersarung itu bertaut menjadi satu. Ketika menggambarkan Bu Guru yang ramah, Willa melihat mata Bu Guru terbuka lebar dan tersenyum manis sekali.
Menggunakan sudut pandang anak-anak, menurut saya, Reda melalui Na Willa, berhasil menghadirkan sifat anak-anak yang polos dan apa adanya dalam menuturkan isi hatinya. Hal-hal yang ditangkap oleh mata Willa disampaikan begitu saja tanpa tendensi menggurui. Kesan menggurui ini sering saya temukan di buku-buku anak, terutama buku terbitan lokal. Itu juga yang membuat saya kadang enggan membelikan buku-buku lokal untuk anak saya. Tapi, buku Na Willa ini cukup menyadarkan saya bahwa ada juga buku-buku lokal yang berkualitas. Bagi saya, buku ini cukup menjelaskan kaidah “show don't tell” yang terkenal itu.
Waktu dan Isu
Cerita-cerita dalam buku Na Willa tidak terjadi di Indonesia masa kini. Pembaca bisa mengetahui latar waktu tersebut melalui teman-teman Na Willa yang bernama Joko, Dul, Farida dan Endang, bukan nama-nama masa kini seperti Clarissa, Khansa, Darren atau Arsya. Nama-nama teman Willa ini, dalam kehidupan nyata banyak saya jumpai sebagai nama guru dan tante saya. Saya yang kelahiran tahun 80-an akhir, mengenal Joko dan Endang sebagai nama guru saya, Dul sebagai nama tetangga seusia Bapak saya dan Farida sebagai tante saya.
Latar waktu itu ditunjukkan pula melalui kebiasaan ibu Na Willa—yang disebutnya Mak—menggunakan sepeda kemana pun pergi: ke pasar dan mengantar Willa pergi bersekolah. Sekolah Na Willa sendiri bisa ditempuh dengan beberapa menit bersepeda, bahkan bisa dijangkau dengan berjalan kaki.
Semasa saya SD, sekitar tahun 1992 hingga 1998, saya juga pergi ke sekolah dengan berjalan kaki atau bersepeda. Pada masa itu, meskipun barangkali ada, masih sedikit dijumpai anak yang pergi bersekolah dengan menggunakan sepeda motor dengan waktu tempuh hingga 30 menit. Berbeda dengan hari ini, di mana banyak ditemui anak-anak yang berangkat dari rumah sekitar pukul 06.30, bahkan 06.00 demi mencapai sekolah sebelum pukul 07.00, menggunakan sepeda motor atau mobil.
Meski disebut sebagai buku anak, buku Na Willa tidak hanya berisi cerita anak yang penuh taman bunga saja. Di beberapa bab, Reda menyisipkan isu-isu sosial dengan halus. Salah satu yang menarik perhatian saya adalah isu rasisme.
Di buku, Na Willa digambarkan sebagai seorang anak “blasteran”. Ayahnya keturunan Tionghoa bermata sipit, ibunya keturunan “pribumi” yang memiliki rambut bergelombang. Nama Na Willa sendiri terdengar asing untuk lingkungan rumah Willa. Namun, teman-teman di sekitar rumah Willa digambarkan bisa menerima Willa dengan baik, tidak ada kalimat-kalimat ejekan yang terlontar.
Ejekan justru berasal dari lingkungan terdidik, yaitu sekolahnya yang pertama. Dalam bab di kelas, Reda menulis, “Kenapa harus begitu? Aku melihat bajuku, sepatu, tas, tempat makanan dan minum. Ada yang salah?” (hlm. 81).
Kalimat itu menggambarkan perasaan Willa saat ia masuk kelas dan menjadi pusat perhatian teman-teman sekelasnya. Teman-teman sekelasnya melihat Willa dengan keheranan, bahkan, “... ada yang sampai membuka mulutnya lebar-lebar” (hal -81).
Perasaan tak nyaman Willa juga digambarkan saat teman-teman sekelasnya tertawa begitu keras ketika Ibu Tini memperkenalkan namanya. “Apa yang lucu?” begitu kata Willa (hlm. 82).
Di bab lain, ketika Willa berkenalan di sekolah keduanya, digambarkan reaksi teman-teman Willa yang berbeda. Di sekolah yang kedua, tidak ada teman-teman yang tertawa ketika Bu Guru memperkenalkan namanya.
Reda menyuguhkan dua reaksi yang berbeda untuk satu kejadian yang sama. Tidak ada anjuran dan kalimat-kalimat yang menggurui dalam penggambaran kedua reaksi tersebut, namun kita semua tahu, mana reaksi yang menimbulkan perasaan nyaman dan mana yang tidak. Perasaan nyaman itu cukup menjadi indikator bagaimana sebaiknya setiap orang berlaku kepada orang lain, bagaimana kelompok mayoritas bersikap kepada minoritas, serta bagaimana sebaiknya seorang guru bersikap.
Penggambaran dua guru yang berbeda di dua sekolah yang berbeda juga menarik perhatian. Di sekolah yang pertama, tidak hanya teman-teman sekelas, Bu Guru juga digambarkan tertawa saat Willa memperkenalkan namanya. Namun, ini berbeda dengan yang terjadi di sekolah kedua. Kedua guru di dua sekolah itu sama-sama belum pernah mendengar nama Na Willa, namun guru kedua memberi respons yang berbeda, “Wah, saya belum pernah dengar nama itu. Bagus sekali!” (hlm. 97).
Guru pertama juga digambarkan sebagai guru yang tidak memiliki rasa percaya kepada anak. Willa yang sudah bisa menulis merasakan kebingungan karena Bu Guru berkata tidak mungkin anak yang belum sekolah sudah bisa menulis. “Apa aku harus bilang tidak bisa apa-apa? Tapi aku bisa!” begitu kata Willa (hlm. 84).
Penggambaran ini menunjukkan interaksi yang kerap terjadi antara anak-anak dan orang dewasa. Kesan meremehkan sekaligus perasaan enggan disalahkan memang banyak dimiliki oleh orang dewasa. Anak-anak yang memiliki kuasa lebih rendah dibanding orang dewasa hanya mampu merasa kebingungan. Itu pun hanya diutarakannya dalam hati.
Tentu masih ada isu-isu lain dalam buku ini, tapi biarlah Anda sekalian membacanya sendiri. Barangkali Anda akan menemukan persepsi lain, bahkan bisa saja berbeda dengan persepsi yang saya miliki. Tentu saja, rasanya akan berbeda bisa merasakan langsung kepolosan anak-anak dalam buku bersampul merah itu. Selamat membaca!
***
Komentar
Posting Komentar