Liputan Telaah #1: Sastra Anak (Indonesia)


    Tak hanya definisi sastra anak, definisi sastra sendiri tak jarang membuat gaduh: mana yang sastra dan bukan sastra, nilai adiluhung dan rendah, pesan moral, bahasa, dan keindahan bangunan karya. Hal-hal tersebut acapkali disebut dalam definisi sastra. Desember 2022 lalu, kami mencoba membuka ruang diskusi yang lebih luas, via ruang zoom, kali ini tentang sastra anak. 

    Sekitar 40-an orang bertahan dari awal hingga akhir diskusi. Banyak teman buka suara, baik dari akademisi sastra dan sastra anak, orang tua, guru, pustakawan, pegiat literasi, kreator buku anak, penikmat, juga penyedia buku anak. Tak ada pembicara utama dalam diskusi ini. Semua peserta boleh angkat bicara. Menariknya, semua saling melengkapi menurut latar belakang masing-masing.  

    Sebelum diskusi dimulai, Zulfa Adiputri dan Henny Khair membacakan secuplik ringkasan tentang dua artikel yang kami baca. Yang pertama adalah esai dari Sayyidatul Imamah berjudul "Semua Orang Konon Gemar Sastra, tapi Siapa Peduli Sastra Anak?". Artikel tersebut terbit di laman Jurno  pada 7 Desember 2022. Yang kedua adalah Bab II dari textbook The Inside, Outside, and Upside Downs of Children's Literature: From Poets and Pop-ups to Princesses and Porridge. Artikel ilmiah ini berjudul "Chapter 02: What is Children's Literature?"

    Dalam ringkasannya, Zulfa membagi esai pertama dalam tiga bagian: konten dan kualitas, pemangku kepentingan, serta kondisi sastra anak Indonesia saat ini. Sementara dalam rangkuman Heny Khair, kita diajak melihat definisi sastra anak dalam dunia akademik. Schneider (2016) yang memberi contoh beberapa pertanyaan dasar tentang sastra anak. Apakah sastra anak adalah buku yang dibaca anak atau yang tentang anak atau yang tokohnya anak? Cuplikan tersebut sampai pada kesimpulan bahwa sastra anak adalah yang dibaca anak juga dewasa, dan tidak harus tentang anak.

    Dari situlah forum diskusi dibuka. Semua peserta dipersilakan mengungkapkan pendapatnya. Ada yang merasa artikel pertama kurang melihat keadaan nyata kondisi buku anak di Indonesia. Pasalnya, beragam tema dan bentuk sudah mulai muncul paling tidak sepuluh tahun belakangan. Ada juga yang mempertanyakan genre sastra anak di artikel kedua. Dari sekian banyak genre, pertanyaannya, mengapa di toko buku section buku anak hanya dijadikan satu saja, tanpa melihat beragam genre buku tersebut.


    Beberapa pertanyaan lain lanjut mengemuka. Tampaknya akan lebih menarik jika dituliskan sebagai percapakan saja. Ada pertanyaan dan ada jawabannya. Pertanyaan-pertanyaan di bawah ini adalah pertanyaan bersama. Jawabannya juga jawaban bersama. Perlu diingat, percakapan berikut ini jamak peserta.

Sebelum ke sastra anak, apakah definisi sastra di Indonesia sudah ada? Apa itu sastra?

    Ada perbedaan cara pandang antara sastra di Indonesia dengan sastra di luar negeri. Menurut A. Teeuw dalam buku Sastra dan Ilmu Sastra, “sastra” secara etimologis berasal dari bahasa Sansekerta, susastra, yang berarti teks yang berisi instruksi atau pedoman. Sastra harus mengandung pedoman. Ada juga kata “kesusastraan”, di mana “su” artinya baik. Lalu diartikan bahwa susastra adalah teks yang berisi pedoman yang baik dan hanya yang baik-baik saja. Tidak heran apabila definisi sastra dalam bahasa Indonesia cukup didaktis. Sementara itu, dalam bahasa Inggris, “literature” berasal dari bahasa Latin “gramatica literatura” atau segala sesuatu yang tertulis. 

Mungkin itu sebabnya di Indonesia buku anak atau sastra anak adalah sesuatu yang harus mengandung moralitas, pengajaran, dan didaktis? Bukan sesuatu yang tertulis tempat anak bisa bermain?
        
        Padahal, menurut Schneider sastra anak adalah segala sesuatu yang dibaca anak.
    Kalau menurut Clementine Beauvais, sastra anak itu adalah karya yang dengan sadar ditujukan untuk anak atau anak-anak dalam diri orang dewasa.

Mungkin definisi ini juga terpengaruh dari penghargaan-penghargaan yang ada? Ada pihak-pihak yang “berwenang” yang ikut mendefinisikan sastra anak.

    Ngomong-ngomong soal berwenang, Marah Gubar dalam On Not Defining Children’s Literature, menulis bahwa sastra anak bisa didefinisikan oleh pengarangnya (authorial intent). Namun, banyak juga bacaan anak yang didefinisikan menjadi sastra anak karena pembacanya atau penerbit. Apakah sesuatu sastra anak atau tidak—itu problematis untuk ditentukan. Bisa authorial intent, publisher intent, atau reader intent. Tergantung siapa yang berwenang.

Lalu, betulkah sastra anak hanyalah novel-novel anak saja? Yang ada tulisannya aja gitu…

    Pertanyaan ini sepertinya berangkat dari konteks Pertanggungjawaban Dewan Juri Sayembara Cerita Anak DKJ 2019 yang menyatakan bahwa masih sedikit sastrawan Indonesia menulis buku anak. Pertanyaan berikutnya, apakah harus sastrawan yang menulis buku anak? 

Tapi, ada bagian yang benar juga dalam pertanggungjawaban juri itu. Buku anak di sini sebagian besar masih dominan perlu pesan moral kan?

    Gimana enggak? Nyatanya masih ada yang demikian. Misalnya, di grup kelompok penulis buku anak tertentu, pesan moral memang masih menjadi asupan utama dalam menulis buku anak. 

Wah! 



Kalau perjenjangan buku, perlukah? 

    Dalam beberapa pembicaraan di luar negeri, perjenjangan buku dikritisi. Alasannya, sering kali yang menentukan adalah orang tua atau guru. Kenapa tidak membiarkan anak memilih sendiri buku yang cocok untuk mereka. Jika terlalu mudah, ia akan menemukan yang lebih menantang. Jika terlalu sulit, anak-anak akan bertanya. Di situlah dialog terjadi.

Kalau di kelas atau di konteks lain gimana ya tentang perjenjangan buku?

    Kalau di sekolah, perjenjangan buku sangat membantu dalam mengajarkan baca dan tulis, juga dalam konteks akademik kelas ya. 
    Kalau di konteks pegiat literasi, perjenjangan juga bertujuan untuk mempermudah kampanye minat baca. Nggak mungkin anak yang minat bacanya masih rendah, dikasih buku yang nggak cocok. Bisa nggak jadi suka baca nantinya. Dan perjenjangan buku bukan tergantung usia, tapi tergantung kemampuan membaca. Pusat Kurikulum dan Pebukuan (Puskurbuk) Kemdikbud baru saja membuat Perjenjangan Buku yang baru, bisa diunduh di lamannya.

Tapi, yang harus digarisbawahi, Puskurbuk adalah lembaga yang sangat strategis dan punya power. Kalau nggak hati-hati dan cermat, bisa-bisa dipakai membatasi para kreator dalam membuat buku anak. 

    Betul.

Nah, masih berhubungan dengan graded reading. Kalau tema dan konten buku itu ranahnya siapa? Tema-tema sulit bisa masuk ke semua usia/kemampuan baca anak?

    Kalau konten itu lebih kembali ke tempat di mana buku itu dibaca. Kalau di kelas, ya ditentukan sekolah dan guru. Kalau di keluarga ya kembali lagi ke visi dan misi keluarga. 
Kalau di perpustakaan biasanya anak-anak lebih bebas mengeksplorasi bentuk buku dan tema ya.

Oke, ini pertanyaan terakhir untuk kita. Sejarah sastra anak di Indonesia itu gimana sih?

    Yang jelas sangat berhubungan dengan negara ya. Ada literatur yang mengungkapkan bahwa buku anak di zaman Belanda harus membuat value-value Eropa. Itu juga terbukti di era Soekarno dengan indoktrinasi nasionalisme. Di Orde Baru juga nyata. Seperti yang ditulis Julia Suryakusuma dalam Ibuisme Negara, bahwa keluarga merupakan perpanjangan tangan negara, di mana ada Bapak yang otoriter dan Ibu yang penyayang. 


    Beberapa refleksi menutup diskusi malam itu. Refleksi pertama menekankan kembali tentang peran negara yang punya misi tertentu. Kira-kira apa yang membedakan negara kita dan negara lain, kenapa negara lain dapat memiliki buku anak yang beragam dan enak dinikmati?

    Refleksi kedua datang dari kreator. Penting untuk berkarya yang bisa dinikmati, dan sedikit melupakan moral. Jangan sampai sastra anak dilabeli dengan yang isinya ajaran moral terus-menerus.

    Membebaskan namun tetap menemani adalah refleksi yang datang dari orang tua. Membebaskan anak memilih bacaan yang disuka namun tetap juga menemaninya memilih.

    Ada juga refleksi dari akdemisi sastra. Ruang diskusi seperti ini sebaiknya terus dihidupkan supaya ada dialog. Hal ini membuat penelitian-penelitian di kampus bisa dinikmati teman-teman di luar bangku akademik.

    Refleksi dari pustakawan dan guru juga menghangatkan hati. Diskusi malam ini dapat dijadikan pengingat supaya bisa terus upgrade diri, banyak baca, banyak ngobrol, juga meneruskan insight-insight ke orang tua dan teman-teman guru.

Terakhir, refleksi datang dari penyedia buku anak. Mereview buku anak, berbagi isu buku anak terkini, juga mengenalkan buku anak yang tak banyak orang tau adalah langkah nyata yang bisa dilakukan.

    Pada kenyataannya, semua orang pasti belajar. Sastra anak di Indonesia belum banyak diketahui dan dipahami, mungkin salah satunya karena belum ada kontinuitas dialog antara para gate keeper. Orang tua, guru, pustakawan, kreator, peneliti, pegiat literasi anak, juga penikmat dan pembacanya, serta pemerintah perlu selalu berdialog dan berjalan bersama dengan peran yang berbeda-beda.

    Jika boleh dijadikan tanggapan pada kondisi sastra anak Indonesia yang dianggap mandeg, rasanya refleksi penutup dari teman-teman peserta bisa menjadi salah satu alternatif yang layak didengarkan. Siapa peduli sastra anak? Rasanya kita semua harus peduli/(EFR)



    Video selengkapnya diskusi Telaah #1: Sastra Anak bisa disimak melalui tautan ini.





Komentar