Ibu yang Temanku



    Dalam beberapa cerita, sosok Ibu terkadang digambarkan agung dan kaku, atau bahkan nyaris sulit digapai. Benarkah?

    Buku Ana Kacang Ing Njero Irungku karya Yuni Ananindra dan Wisnu Permana adalah sebuah buku bergambar sepanjang 23 halaman yang diterbitkan pada Desember 2021 oleh Lingkarantarnusa. Buku yang berbahasa Jawa ini berisah tentang Sari yang iseng dan dengan sengaja memasukkan kacang ke dalam hidungnya. Sari ingin “mbebéda” Ibu, ingin menggoda Ibunya. Dia minta ibunya menebak di mana kacang ia sembunyikan. 


    Karena narasi dalam buku bergambar tak akan dapat dipisahkan dari gambar itu sendiri, karakter tokoh di dalamnya tentu dijelaskan lebih maksimal dalam narasi gambar, bukan narasi teksnya. Keluarga Sari digambarkan tinggal di desa: memasak dengan kompor minyak dan anglo (2021, hlm. 5 dan 8-9), dan bepergian dengan sepeda (2021, hlm. 22-23). Ibu Sari digambarkan sedikit tua, khas Ibu Jawa yang tinggal di desa, bercepol di rambut belakang, kerutnya juga terlihat, dan memakai kaus dan rok span rumahan, namun sangat ekspresif dan lucu. Tokoh Sari berusia kira-kira 8-10 tahun, sudah cukup mandiri dan bisa main sendiri 
    Ketika Sari datang untuk menggodanya, Ibu sedang sibuk memasak di dapur. Menariknya, Ibu yang didatangi Sari “hanya” untuk main bedhèkan, tetap mengindahkan Sari. Ibu digambarkan menyimak permainan Sari, mata Ibu membesar tanda ia mendengarkan Sari dengan sungguh (hlm.7). Ibu tak menganggapnya lalu. Ibu ikut tebak-tebakan. Ibu bahkan bangkit dari dingklik-nya hanya untuk menjawab tebakan itu. Ibu menebak Sari pasti sudah memakan kacangnya. Ibu mbedhèk, “Mesthi wis dimaem, ta?” (hlm.8).


    Si kacang memang akhirnya masuk betulan ke hidung Sari hingga tak terlihat. Bagaimana reaksi Ibu digambarkan? Panik dan khawatir atau malah menangis ketakutan? Wisnu Permana menggambarkan Ibu kebingungan dengan menggaruk-garuk kepalanya (hlm.18). Hahaha. Hal yang tentu saja mungkin tak sempat saya lakukan jika mengalaminya. Nyatanya, meskipun Sari tidak mau diajak ke dokter, Ibu Sari masih terlihat tenang, malah balas meledeknya dengan, ”Ndhuk, mengko nèk kacangé thukul piye?”—Nanti kalau biji kacangnya tumbuh gimana? (hlm.19). Tentu saja dengan ekspresi Ibu yang kocak—pupil mata mengecil, membesarkan lubang hidung, sambal membuat gestur pohon tumbuh di atas kepalanya. :D Saya lagi-lagi tak menjanjikan reaksi yang demikian tenang dan kalem kalau itu terjadi pada Hayu, anak saya yang 4 tahun. Mungkin saya akan menangis dan langsung memaksanya ke rumah sakit. :D
    Ibu sebagai sosok yang dekat dengan anak-anaknya, yang juga iseng, yang juga ikut main tebak-tebakan, mengingatkan saya pada sosok Ibu Lupus dalam buku Lupus Kecil karya Hilman dan Boim terbitan Gramedia. Buku yang terbit pertama kali tahun 1989 ini berisikan sepuluh cerita pendek. Tiga di antaranya berjudul “Dapat Kamar Baru,” “Kue Hari Minggu”, dan “Ke Toko”. Secara garis besar, buku ini bercerita tetang pengalaman Lupus yang belum berani tidur di kamarnya sendiri. Selain itu, juga tentang keseharian Lupus yang tinggal di sebuah rumah kecil di Jakarta bersama Ibu, Bapak, dan adiknya, Lulu. 


    Ibu Lupus digambarkan sebagai ibu yang kocak dan lucu. Lucu misalnya, ketika Ibu Lupus—yang sedang ikut pertemuan ibu-ibu semacam Dharma Wanita—ditanya oleh narasumber saat itu, “Ibu-ibu sekalian, apa yang harus Ibu-ibu lakukan bila mengetahui anak Ibu secara teratur mencuri uang dari anggaran rumah tangga?” Ibu Lupus menjawab lantang,” Kita curi lagi uang jajannya!” (1989, hlm.22)
    Lucu lainnya, ketika Ibu Lupus yang hobi memasak membeli buku resep berbahasa Perancis. Ternyata bukunya benar-benar nggak mungkin dipahami karena ia jadi kebingungan misalnya soal takaran, juga soal telur yang harus digoreng atau didadar. Ibu hanya paham gambarnya saja (hlm.41). :D. Hilman dan Boim melukiskan kepayahan Ibu Lupus dengan, “(Setelah) diartikan kata demi kata, Akhirnya disimpulkan bahwa Hari Minggu ini, kue harus beli dari pasar. Hehehe…” (hlm. 42).
    Contoh lain misalnya saat Lupus ketahuan mengompol di malam hari. Lupus menceritakan mimpinya yang dikejar-kejar raksasa hingga lari sekuat-kuatnya. Ibu Lupus nggak marah, dan malah bilang, “O, pantas kasurmu basah semua. Pasti cucuran keringatmu, ya, Pus?” sambal menahan tawa (hlm.59).
  
  
Sosok ibu dari dua buku yang berjenis tak sama ini—buku bergambar berbahasa Jawa dan yang lain novel pendek—menarik dan membuat saya agak iri. Tokoh Ibu digambarkan dekat dengan anak-anak, saling menggoda, main tebak-tebakan, bahkan tak malu terlihat konyol. Para pengarangnya berhasil menghadirkan sosok Ibu yang berteman dengan anak-anaknya. Ibu yang tak malu bereskpresi, ibu yang mendengarkan sepenuh hati meskipun hanya celotehan atau tebak-tebakan-tak-penting anak mereka. Juga, ibu yang bereaksi tenang dan hangat namun tepat, bahkan saat anak-anak kadang menjengkelkan seperti mengompol atau memasukkan benda-benda ke hidung mereka. Saya harus banyak belajar dari ibu-ibu ini, nampaknya. 

Komentar