Mirah Mini: Orang Dewasa yang Pelupa

oleh: Elfira Prabandari

Masalahnya, setiap hari yang ajaib banyak sekali. Tidak akan pernah selesai kuhitung dengan jari tanganku dan kakiku.  
(Mirah, dalam Mirah Mini: Hidupmu Keajaibanmu, hlm. 23)
 

        Mirah kecil yang berusia lima tahun bilang kalau orang dewasa sering lupa melihat keajaiban. Ada mata yang bisa melihat; mulut yang bisa mengeluarkan bunyi-bunyi yang dimengerti orang lain; angin yang tak kelihatan tapi bisa menerbangkan baju-baju jemuran; jari tangan yang bisa dihitung; gigi Nenek yang bisa disimpan dalam gelas; juga bulan yang selalu mengikuti kita dari restoran sampai di rumah. Padahal, hal-hal ajaiblah itu yang membuat Mirah kecil takjub. 

     Mirah yang berumur lima mempunyai teman seekor tapir yang dinamainya Tapir. Mirah bilang kepada Mama supaya Tapir tinggal di rumahnya saja (hlm. 21). Pasalnya, rumah Tapir semakin mengecil karena pohon-pohon yang banyak ditebang (hlm. 16). Mirah tak mau Tapir dan keluarganya menghilang karena tak lagi punya rumah yang nyaman. Tapir memang teman kesayangan Mirah. Jika ia minum segelas susu stroberi dan kue sedap, Tapir selalu mendapatkannya juga (hlm. 35). 

        Tak heran kalau Mirah sedih saat ada orang yang tak percaya Tapir, temannya, itu ada. Celakanya, orang yang tak percaya itu adalah beberapa orang dewasa (hlm. 36-37). Mirah kecil bertanya kenapa. Kata Mama, orang dewasa suka lupa hal yang ajaib-ajaib. Mereka sudah terlalu biasa melihat yang ajaib-ajaib. Jadi, yang ajaib sudah tak lagi ajaib.

        Tokoh Mirah kecil membuat saya teringat dengan tokoh “Aku” di buku Little Prince karya Saint-Exupery. Semasa kecil, tokoh “Aku” pun pernah kecewa pada orang dewasa. Gambar ular-boa-yang-menelan-gajah-nya hanya dianggap sebagai gambar topi! Orang dewasa, bagi Mirah dan “Aku”, adalah mereka yang sibuk dan pelupa. Sibuk dengan hal penting seperti rapat dan pekerjaan sehingga melupakan melihat yang ajaib-ajaib (hlm. 38).

        Suara tokoh Mirah yang mempertanyakan “keanehan” orang dewasa tentu saja merupakan bentuk refleksi para orang dewasa pengarangnya. Hal ini makin terasa usai percakapan Mirah dan Mama tentang kenapa orang dewasa tak bisa melihat yang ajaib. Sayang sekali, pada narasi berikutnya, tokoh Mirah tak terdengar seperti anak berusia lima tahun. Mirah kecil berkata, “Padahal, kalau saja… orang dewasa membuka mata lebar-lebar… Mungkin mereka akan lebih gembira. Tidak lagi sedih dan sibuk begini” (hlm. 40). Mirah terdengar seperti kita, para dewasa yang sedang melakukan kritik pada diri sendiri. Apalagi, tokoh Mirah juga bilang kalau orang dewasa tak perlu pergi ke mana-mana, cukup kembali diam dan membuka mata lebar-lebar, tengok kiri dan kanan, “bisa dilakukan di jalan, menuju urusan-urusan penting dan bisnis” (hlm. 41). Saya kembali bertanya-tanya: Mirah yang lima tahunkah yang bicara demikian?

        Meski begitu, bagi saya, membaca Mirah Mini seperti pergi ke galeri seni rupa. Kita bisa menikmati karya rupa yang tak biasa dalam buku anak. Mirah yang digambarkan dengan sebulat berwarna biru yang berambut di atasnya membuat pembaca berimajinasi. Nukila Amal menulis narasi teksnya dan Hanafi menggarap ilustrasinya. Buku ini ditulis dalam dwibahasa, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.

           Tema yang dianggap cukup “berat” bagi anak tentang pembalakkan hutan dan melangkanya tapir justru coba diangkat dalam buku ini. Keduanya dengan apik bisa menarasikan tema penebangan hutan yang mengganggu habitat tapir. Rumah Tapir yang semakin berkurang digambarkan dengan gambar rumah, sungguh-sungguh rumah, yang ukurannya makin kecil (hlm. 20-21). Jumlah tapir yang berkurang digambarkan dengan sebuah gambar tapir yang sedikit demi sedikit menghilang. Pertama, tengkuknya, kepala atasnya, kepala depannya, lalu punggung, dan kemudian badannya; hanya menyisakan wajah sedih si Tapir (hlm. 18). Simbol-simbol sederhana tersebut membantu anak membayangkan apa yang terjadi pada kehidupan si Tapir.

        Buku Mirah Mini merupakan salah satu buku project Buku Seni untuk Anak dari Masyarakat Indonesia Cipta yang terbit tahun 2013. Program ini, menurut Dewi Noviami (dalam YouTube TaCita.id “TaCita Cerita Sabtu Malam”, siaran langsung 24 April 2021), adalah program kolaborasi antara perupa dan sastrawan. “Ini adalah tema yang kita hadapi. Anak-anak malah seharusnya diajak bicara tentang ini, bukan didiamkan mencari tahu sendiri,” kata Noviami kepada TaCita. Mungkin Mirah benar: orang dewasa sudah terlalu banyak melihat yang ajaib-ajaib. Isu berat macam tapir yang melangka ini sudah dianggap biasa, tak ajaib lagi. Mungkin saja. 

Judul buku    : Mirah Mini: Hidupmu Keajaibanmu
Pengarang    : Nukila Amal dan Hanafi
Penerbit        : Masyarakat Indonesia Cipta
Tahun terbit  : 2013
Ukuran buku: 29x35 cm, 47 halaman.


Komentar