Ajdar: Gempa Bumi adalah Kekacauan yang Jenaka


ditulis oleh Elfira Prabandari
"...sebelum semuanya sempat melakukan apa pun, abrakadabra, gempa berhenti begitu saja. Namun, semua berubah..." (Ajdar, hlm. 13)
   Sebelum menemukan buku ini, saya tak pernah tahu kalau Marjane Satrapi menulis buku untuk anak-anak juga. Ajdar, begitu judulnya, adalah sebuah buku dengan tebal 32 halaman dan dicetak penuh warna. Yang saya baca ini merupakan terjemahan terbitan GPU tahun 2010. Ajdar sendiri terbit pertama kali dalam bahasa Prancis tahun 2002.
    Alkisah di sebuah negeri yang sempurna, semua hal berjalan seperti biasanya. Namun, suatu ketika gempa bumi terjadi lalu memporak-porandakan semua yang ada di atas bumi. Orang-orang dan binatang-binatangnya berubah bentuk menjadi aneh: raja dengan tiga mata, pemain bola dengan satu kaki, wartawan tanpa tangan, juga pemain sepak bola yang hanya punya satu kaki (hlm. 15-16). Muncullah juga kuciting—kucing kepiting, burang—burung beruang, burupi—burung sapi, ikapah—ikan jerapah, serta ulakan—ular ikan (hlm. 13-14). Di antara kekacauan yang terjadi itu, hanya satu sosok yang tak berubah. Dialah Mathilde. Apa pasal? Mathilde adalah anak perempuan suka main lompat tali. Suka sekali! Saat gempa bumi terjadi, dialah satu-satunya orang yang tidak menyentuh tanah karena sibuk melompat-lompat. 


    Oleh Sang Raja yang sudah melihat semuanya dan tahu segalanya, Mathilde diminta untuk pergi ke pusat bumi menemui Naga Ajdar. Mathilde percaya bahwa dialah yang bisa membantu manusia di negerinya (hlm. 19-20). Singkat cerita, setelah bertemu dengan berbagai makhluk aneh; seperti Div si Setan, Nenek Sihir, dan Jin; sampai juga Mathilde pada Naga Ajdar. Di luar dugaan, ternyata Sang Naga sedang menangis kesakitan. Memang dialah yang membuat gempa bumi tapi itu terjadi karena punggungnya “tersodok” mesin-mesin yang menembus bumi hingga dalam, mencapai tempat Ajdar tidur. Ajdar menggeliat karena punggungnya patah. Geliatnya menimbulkan gempa bumi yang mengubah seisi negeri.


    Terkadang dengan kacamata orang tua, yang mungkin dangkal seperti saya, yang terlihat adalah ke-lebay-an Satrapi untuk menggambarkan cerita ini. Dampak gempa bumi yang dalam kenyataan sering kali parah dilebih-lebihkan dengan keadaan kacau yang ganjil. Kacau hingga semua binatang bercampur. Kacau hingga manusianya berbentuk macam-macam. Mungkin saja hiperbolalah yang digunakan Satrapi dalam menggambarkan gempa bumpa bumi dan keparahan yang timbul karenanya. Lebay yang menimbulkan manusia yang bercampur baur tak karuan juga binatang spesies baru bermunculan. Selain itu, Satrapi juga mengeliminasi satu hal, kematian. Kematian yang biasanya menjadi dampak paling parah dari gempa bumi tidak ditampilkannya dalam cerita. Kematian diubah bentuknya menjadi kekacauan yang jenaka. 
    Membayangkan raja bermata tiga atau wartawan tanpa tangan, pasti mengerikan. Seram betul menyadari bahwa dunia menjadi tak biasa. Gempa bumi memang bencana yang tak main-main. Namun, Satrapi memilih menampilkan gambar dan cerita dengan jenaka. Kacaunya dunia pascagempa tidak dicitrakan dengan kerusakan melainkan dengan bentuk lain yang kacau tapi jenaka. Kejenakaan hadir melalui bentuk-bentuk penghuninya yang tak biasa. Kerusakan hebat—yang sulit dan sedih—disimbolkan dengan gambar berwarna-warni mendekati konyol. 
    

    Alih-alih ketakutan, lucu rasanya melihat para hewan baru muncul dan para manusia berbentuk aneh. Nama-nama binatang baru, misalnya, menjadi ajang tebak-tebakan seru dengan anak-anak. Itu yang saya alami ketika membaca buku ini bersama Rahayu, anak saya yang empat tahun. Ia menikmati membaca Ajdar karena yang mengerikan dilukiskan penuh warna. Ia hampir pasti juga merasakan bahwa gempa bumi membawa perubahan dahsyat bagi negeri yang mengalaminya. Akan tetapi, bukan teror yang ditampilkan.
    Bagi anak-anak mungkin saja keadaan ini lebih nyata dan mengena. Kekacauan gempa bumi dirasakan sebagai perubahan keadaaan aneh yang memang tak biasa. Mungkin ganjil bagi orang dewasa—namun hanyalah pengalaman baru bagi anak-anak, sama seperti hal lain yang belum pernah dialaminya. ()

 

Komentar