Aku Radio bagi Mamaku: Hukuman yang Tak Setimpal

 

Saya terkadang bilang, anak saya mirip seperti radio. Dia selalu bicara tanpa henti, entah menyanyi, pura-pura jadi tokoh kesukaannya saat itu, atau cerita macam-macam. 
Suatu kali, saya menemukan buku Abinaya Ghina Jameela, Aku Radio bagi Mamaku. Saya membacanya sekali duduk. Selain karena judulnya yang mengena dengan pengalaman saya sendiri, saya mau tau: kira-kira anak-anak berpikir apa tentang hal itu.


Buku Naya ini pertama kali diterbitkan tahun 2008. Terbitan Gorga ini sudah cetak ulang ketiga kalinya.  Aku Radio bagi Mamaku adalah sekumpulan cerita pendek, berjumlah sepuluh buah. Tokohnya, Alinka, adalah seorang anak yang duduk di kelas Untuk Pemula. Sebutan itu dipakai untuk menandai kelas satu SD. Kesepuluh cerita Alinka berkisah tentang pengalamannya di sekolah dan di rumah. Cerita hangat yang dekat dengan Alinka tentang lupa membawa bekal, bertengkar dengan temannya, juga tetang perpustakaan tempat kesukaannya.


Cerita yang mengesan bagi saya adalah “Aku Bosan dengan Menu Bekalku”. Ceritanya tentang Alinka yang lupa membawa bekalnya saat ada Study Tour. Di sekolah ini, anak yang lupa bawa bekal nggak akan boleh ikut acara study tour. Alinka tau hal itu tapi nggak ada waktu lagi untuk pulang ke rumah dan ambil bekalnya. 
Dia diam-diam masuk ke bus dan berjalanlah mereka ke museum. Di perjalanan, Pak Kepala Sekolah mengecek perihal perbekalan ini. Alinka jujur, bekalnya tertinggal di rumah. Pak Kepala Sekolah marah sekali. “Seharusnya kamu dihukum dan tidak boleh ikut, Alinka!”, katanya. Alinka si anak tangguh ini mengakui kesalahannya tetapi tak menyerah dan tetap ingin ikut. Pada akhir “keributan” ini, Alinka sempat bilang, “Pak, kata Mama, anak-anak harus bersekolah. Jadi saya harus ikut… Bapak tidak boleh melarang anak-anak belajar hanya karena tidak bawa bekal. Itu kesalahan fatal, Pak!” (Jameela, 2020:9)

Hahaha, saya langsung ngakak ketika membacanya. Alinka si anak kelas Untuk Pemula ini punya poin bagus. Nggak ada hubungannya ya: kesalahan lupa bawa bekal dengan hukuman tak boleh ikut study tour. Saya tertawa tapi juga menertawakan diri sendiri: kapan ya saya pernah melakukan hal yang nggak nyambung seperti peraturan di sekolah Alinka itu. 


Membaca tulisan-tulisan Naya merupakan proses dialog dengan diri sendiri sebagai orang tua. Suara anak-anak yang diwakili Naya dalam buku-bukunya, membuat saya—sebagai orang dewasa dan orang tua—selalu mempertanyakan lagi (juga berhati-hati) tentang dominasi saya terhadap anak-anak.

Terima kasih karyanya ya, Naya! Senang sekali membacanya. 


Komentar